Tiga Buku yang Merobohkan Tembok Mindset

Ok, aku mau jujur.

Selama setengah abad ini, menurutku aku hidup di bawah ilusi tiga pilar: moralitas yang solid, percakapan yang masuk akal, dan identitas diri yang bersih. Dan, jeng jeeeng.. tiga filsuf hebat ini datang, bukan untuk memberi jawaban, melainkan untuk "melempar "palu ke setiap pilar itu!


    Ini bukan sekadar ulasan buku. 

Ini adalah wake-up call dari Friedrich Nietzsche, Ludwig Wittgenstein, dan Albert Camus, yang karyanya akan mengubah total cara aku berinteraksi, menilai, dan bahkan sekadar mengobrol sehari-hari. 

Siap untuk dilempar ke dalam kawah pemikiran yang nggak nyaman?

Moralitas Ternyata Hanya Warisan Sejarah yang Berubah-ubah 
(Genealogy of Morality oleh Friedrich Nietzsche)

Coba jujur, kamu pasti punya asumsi bahwa "baik" itu ya sudah pasti baik, dan "jahat" itu mutlak jahat, kan? 

Asumsi ini langsung dibongkar habis oleh Nietzsche dalam Genealogy of Morality. Dia nggak peduli dengan etika ideal; dia hanya tertarik pada sejarah kata "baik" dan "jahat." Ini yang disebut genealogis.

Nietzsche membawa kita ke zaman pra-Kristen, masa di mana moralitas ditentukan oleh kelas penguasa (Master Morality). 

Di zaman ini, "baik" adalah segala hal yang disukai dan dilakukan oleh kaum bangsawan: keberanian, kekuatan, kebanggaan, dan kemewahan. 

Sebaliknya, "buruk" (bukan "jahat"!) hanyalah sifat yang pasif dan menyedihkan, seperti kelemahan. Nilai itu diciptakan dari rasa bangga diri. 

Ehem.. relate gak sih dengan kondisi kita saat ini?

The Great Flip: Lahirnya Moralitas Budak

Pernah kepikiran nggak, dari mana asal kata “jahat”?

Menurut Nietzsche, itu muncul dari yang dia sebut moralitas budak — cara berpikir orang-orang lemah terhadap mereka yang kuat.

  • Dulu, di zaman para bangsawan, yang disebut “baik” itu berarti kuat, berani, dan penuh kebanggaan.
  • Sebaliknya, yang “buruk” ya yang lemah, pasif, dan nggak bisa berjuang.

Intinya :

Karena kaum lemah nggak bisa melawan secara langsung, mereka balas lewat cara halus: membalik makna.

Mereka mendeklarasikan, “Kalian yang kuat itu jahat. Kami yang sabar dan rendah hati — kamilah yang baik.”

Nah, dari situ lahirlah moralitas baru yang penuh nilai kasih, pengorbanan, dan kerendahan hati.

Menurut Nietzsche, moralitas ini bukan “kebenaran sejati,” tapi hasil dari rasa dendam dan keinginan buat menundukkan manusia supaya lebih mudah dikontrol.

Dampaknya? 

Nilai “baik” dan “buruk” yang kita anut sekarang nggak mutlak — cuma hasil ciptaan zaman dan budaya tempat kita tumbuh.

Jadi, kalau kamu ngerasa terkekang sama aturan moral yang kaku, Nietzsche nyuruh kita mikir ulang:

"Siapa yang sebenernya nentuin arti “baik” dan “jahat” buat lo?

Mungkin udah saatnya lo berhenti nurut, dan mulai bikin nilai lo sendiri — kayak Übermensch, manusia yang bebas nentuin maknanya sendiri."

beeeugh....

Percakapan: Perangkap Bahasa dan Kebutuhan Akan Asumsi (Tractatus Logico-Philosophicus oleh Ludwig Wittgenstein)

Kita sering merasa kalau kita si paling paham apa yang orang lain katakan.

Aku pernah ngerasa "udah ngerti banget" apa yang dimaksud seseorang, padahal… belum tentu. 😅 Wittgenstein bilang, banyak banget obrolan kita itu sebenernya penuh asumsi dan salah paham.

Kenyataannya, kebanyakan obrolan kita MEMANG dipenuhi asumsi dan kekeliruan. Ludwig Wittgenstein membongkar ini dalam karyanya yang sangat pendek namun padat, Tractatus Logico-Philosophicus (TLP).


Inti dari TLP adalah Teori Gambar (Picture Theory): Bahasa harus menjadi gambar yang logis dari realitas (fakta di dunia). Proposisi yang bermakna adalah proposisi yang dapat dicek kebenarannya di dunia.

Jadi gini, lewat teorinya, dia ngomong kayak gini:

Bahasa seharusnya jadi “gambar” dari kenyataan.
Kalau kalimat itu bisa dicek kebenarannya di dunia nyata — baru deh itu bermakna.

Masalahnya, topik kayak etika, seni, Tuhan, atau makna hidup... nggak bisa dibuktikan secara logis. 

Ya makanyaaa .. banyak kan, orang dibodohi oleh orang yang dianggap alim ulama, pendeta, pengusaha yang terlihat super (apalagi kalo terlihat tajir melintir) atau malah... dipengaruhi oleh para seniman digital (baca : influencer).

Jadi menurut Wittgenstein, obrolan kayak gitu sebenernya nggak punya makna dalam bahasa yang ketat.

Kesimpulannya: kadang kita bukan nggak ngerti hidup — kita cuma kejebak sama bahasa yang kita pakai buat nyoba memahaminya

Qiqiqiiii mumet nggak, aku sih iya.

Mengerikan, kan? 

So menurut Wittgenstein ini, sebagian besar percakapan kita sehari-hari—tentang etika, estetika, Tuhan, atau makna hidup—sebenarnya tidak bermakna karena tidak dapat dipetakan secara logis ke fakta di dunia. 

Itu semua di luar batas bahasa yang bermakna. Filsafat hanyalah upaya untuk mengurai kekeliruan bahasa ini.

Kita Butuh Asumsi Biar Hidup Jalan


Kadang lucu sih — kita tahu asumsi bisa salah, tapi tanpa asumsi, obrolan nggak bakal jalan.

Bayangin kalau tiap kali ngobrol harus dicek dulu semuanya:

“Tunggu, yang kamu maksud ‘meja’ itu beneran benda berkaki empat dari kayu, kan?” 

Ya keburu bubar duluan diskusinya 😅

Jadi, pas debat soal politik, agama, atau hal berat lainnya, inget aja — bisa jadi aku - kamu dan lawan bicara kita ngomongin hal yang beda definisi dari awal.
Sama-sama yakin bener, tapi fondasinya nggak sama.

Ironisnya, justru karena kita mau “sama-sama pura-pura ngerti,” hidup sosial bisa jalan. Humor, cinta, dan hubungan manusia semuanya lahir dari area abu-abu itu.

Wittgenstein ngingetin: bahasa punya batas. Kadang, diam dan saling paham tanpa kata malah lebih dalam daripada debat tanpa ujung.


Eksistensi: Mengadili Diri Sendiri di Dunia yang Absurd

(Terinspirasi dari The Fall – Albert Camus)

Bayangin lo jadi orang sukses, dihormati, dan kelihatannya baik banget. Tapi suatu hari, dua hal kecil bikin lo mulai mikir:

    "Aku berbuat kebaikan itu tulus… atau cuma buat terlihat baik?

Itu yang dialami Jean-Baptiste Clamence, tokoh utama di The Fall.

Dalam novel The Fall (La Chute), Albert Camus memperkenalkan Jean-Baptiste Clamence, seorang mantan pengacara sukses yang kini menjadi "hakim-peniten" di Amsterdam.

Dulu si Clamence ini adalah pengacara top, hidupnya mulus, dihormati, happy go lucky pokoke. Tapi setelah gagal nolong seorang wanita yang mau bunuh diri, dan dia  mendengar suara tawa aneh di jembatan (mentertawakan "kebaikannya" itu), dunianya jungkir balik.

Dia sadar — selama ini dia nggak benar-benar “baik.”
Dia cuma pengen dikagumi.
Dan begitu sadar, rasa bersalahnya jadi monster.

Clamence menyadari bahwa kebaikan yang ia lakukan selama ini bukanlah kebaikan sejati, melainkan hanya topeng untuk mencari validasi dan kekaguman dari orang lain. Begitu kebohongan ini terkuak, ia tak tahan hidup sebagai "hakim" (yang suka menghakimi orang lain) yang ternyata bersalah (karena kemunafikan dan keegoisan).

Trik dan plot twist-nya? Clamence akhirnya “mengaku duluan.”

Dia buka semua dosa dan kepalsuannya di depan orang lain, biar nggak ada yang bisa menjatuhkannya lagi. Tapi ironisnya, dari situ dia malah ngerasa punya hak buat menghakimi balik orang lain.

Camus mau bilang:
"Tiap kali lo nge-judge orang di medsos atau di hidup nyata, mungkin itu cuma cara lo buat menutupi rasa bersalah sendiri."

HAH.

Pertanyaannya sekarang:
Kita benar-benar berbuat baik karena hati kita tulus dan bersih…
atau cuma karena pengen "keliatan jadi si orang paling baik"?

Menciptakan Pondasi Baru



    Nietzsche membongkar asal-usul nilai-nilai yang kuanut selama ini, Wittgenstein menunjukkan batasan bahasaku dan Camus memaksa aku ternggelam dan melihat motif tergelap di balik "topeng" yang aku kenakan. 

Tiga buku ini tidak akan memberi pembacanya 'kedamaian', tetapi akan memberi kejernihan yang brutal tentang kondisi manusia.

Moralitas bukan abadi, percakapan kita penuh asumsi, dan kepolosan terkadang hanyalah ilusi. 

Dengan menyadari tiga kenyataan pahit ini, aku bisa mulai membangun cara pandang baru yang lebih kuat: yang menerima kompleksitas moralitas, menghargai keheningan di tengah batas bahasa, dan berani jujur melihat ke dalam cermin diri yang sesungguhnya.

Kamu gimana?

Komentar

  1. Hem... Menurutku, standar baik dan buruk itu seharusnya tetap ya. Cuma ya jangan serahin ke manusia standarnya karena pasti bisa berubah. Terus, kalau soal maksud kata dan judge emang harus hati2 karena kebenarannya relatif. Mending sering kroscek aja daripada salah paham atau malah ngejudge duluan

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ya mbak, baik dan benar sih menurut saya based on Al Qur'an dan hadits jadinya

      Hapus
  2. Belum pernah baca ketiganya sih, tetapi sempat mendalami Nietzsche yang emang out of the box banget pemikirannya. Tulisannya tajam dan sering menggoyang nurani.

    BalasHapus
    Balasan
    1. anakku sempat nih baca baca filsafat - dan aku ingetin untuk tidak terlalu 'in to' karena akan menggoyahkan pemikiran ...

      Hapus
  3. Ngobrol langsung aja kadang bisa salah paham. Apalagi ngobrolnya cuma lewat chat alias kata-kata yang ditulis. Salah tanda baca aja, bisa salah menafsirkan.
    Makanya kalo di medsos suka neh bila ada yang langsung hujat.
    Jadinya ya jangan langsung tarik kesimpulan. Sabar aja atau ya udah gak usah diurusin hehe.

    BalasHapus
  4. kebetulan banget saya baca tulisan ini sesudah saya mantenginn perbincangan tentang Pak Harto menjadi pahlawan nasional
    Terasa absurd, kalo Pak Harto jadi pahlawan, terus mahasiswa Trisakti yang gugur dianggap apa dong?
    Akhirnya kita kembali pada pemikiran untuk jangan melihat suatu hal dengan kacamata hitam putih, ada banyak warna diantaranya
    Dengan dasar pemikiran ini kita gak bakal "gumunan" termasuk ketika pemenang menulis ulang sejarah sesuai versinya

    BalasHapus
    Balasan
    1. well.... bener ambu, kita ga boleh ekstrem memihak, karena pas di masa depan .. OMG sejarah akan berbalik dan kita kehilangan kepercayaan terhadap semuanya :(

      Hapus
  5. Banyak orang yang terjebak sama istilah baik dan jahat. Hal-hal sudah pasti mengundang kebaikan. Sementara hal-hal jahat ya efeknya buruk.

    BalasHapus
  6. Menarik juga ketiga buku tersebut jadi pengen ikutan punya bukunya spya bisa leluasa membaca

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nggg... Bayu suka baca filsafat juga? AKu sih kurang rekomen yaaa kalo ngga suka, paling baca The Fall aja yang seperti novel itu

      Hapus
  7. Tiga buku yang keren dan pembahasannya luar biasa. Membuka mata dan hati kita. Bahwa semuanya selama ini memang soal penilaian dari masing-masing orang. Misalnya soal baik dan jahat. Bisa saja relatif penilaiannya dari setiap orang. Begitu soal haus pengakuan. Dan ini bahaya ya, karena selalu berusaha terlihat baik di depan orang, padahal tidak selamanya sesuai dengan hati nurani.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kadang kalau kita ngga berpegang ke ajaran agama - akan bahaya ya mas :(

      Hapus

Posting Komentar

Postingan Populer