Senja, Sahabat, dan Secangkir Kenangan

      Tak ada yang lebih manis dari pertemuan yang tak direncanakan—kecuali pertemuan itu terjadi dengan sahabat lama. 

Kami dua perempuan, dua blogger yang dulu pernah begitu akrab, lalu hilang dalam jejak waktu dan rutinitas masing-masing. Hingga suatu hari, aku tak sengaja melihatnya di layar ponsel. Ia tengah live streaming. Suaranya lembut, merdu, tapi penuh daya. 

   Ada yang berubah, bukan hanya pembawaannya, tapi juga namanya. Kini ia menggunakan nama panggung—atau biar terdengar lebih elegan, "nama publik".


    Kami akhirnya bertemu. Di sebuah gedung perkantoran estetik di sudut Jakarta Selatan, kami duduk berdua, makan, tertawa, menyeruput kopi dan membongkar kenangan. 

   Kami sudah di usia Lolita—lolos lima puluh tahun. Usia di mana drama bukan lagi santapan harian. Kami hanya ingin menikmati hidup, dalam bentuk paling sederhana: bersyukur, berharap, beribadah, dan terus berjalan menyongsong senja. 

     Obrolan mengalir tentang impian masa lalu, kenyataan yang kini ada di pangkuan, dan impian yang tertinggal begitu saja. Beberapa sudah menjadi nyata, sisanya hanya tinggal angan. Tapi tak mengapa, karena kami masih bisa tertawa mengenangnya. Hujan deras datang di tengah percakapan kami, seakan memberi alasan agar obrolan tak perlu lekas selesai.

   Kami berpisah di senja yang basah. Tapi hati kami hangat. Karena persahabatan yang sejati, tak pernah benar-benar pergi—ia hanya menunggu momen manis untuk kembali.

Komentar

Postingan Populer