Tiga Buku yang Merobohkan Tembok Mindset
Ini bukan sekadar ulasan buku.
Coba jujur, kamu pasti punya asumsi bahwa "baik" itu ya sudah pasti baik, dan "jahat" itu mutlak jahat, kan?
The Great Flip: Lahirnya Moralitas Budak
Pernah kepikiran nggak, dari mana asal kata “jahat”?
Menurut Nietzsche, itu muncul dari yang dia sebut moralitas budak — cara berpikir orang-orang lemah terhadap mereka yang kuat.
- Dulu, di zaman para bangsawan, yang disebut “baik” itu berarti kuat, berani, dan penuh kebanggaan.
- Sebaliknya, yang “buruk” ya yang lemah, pasif, dan nggak bisa berjuang.
Intinya :
Karena kaum lemah nggak bisa melawan secara langsung, mereka balas lewat cara halus: membalik makna.
Nah, dari situ lahirlah moralitas baru yang penuh nilai kasih, pengorbanan, dan kerendahan hati.
Nilai “baik” dan “buruk” yang kita anut sekarang nggak mutlak — cuma hasil ciptaan zaman dan budaya tempat kita tumbuh.
Jadi, kalau kamu ngerasa terkekang sama aturan moral yang kaku, Nietzsche nyuruh kita mikir ulang:
"Siapa yang sebenernya nentuin arti “baik” dan “jahat” buat lo?
Mungkin udah saatnya lo berhenti nurut, dan mulai bikin nilai lo sendiri — kayak Übermensch, manusia yang bebas nentuin maknanya sendiri."
beeeugh....Percakapan: Perangkap Bahasa dan Kebutuhan Akan Asumsi (Tractatus Logico-Philosophicus oleh Ludwig Wittgenstein)
Kita sering merasa kalau kita si paling paham apa yang orang lain katakan.Inti dari TLP adalah Teori Gambar (Picture Theory): Bahasa harus menjadi gambar yang logis dari realitas (fakta di dunia). Proposisi yang bermakna adalah proposisi yang dapat dicek kebenarannya di dunia.
Jadi gini, lewat teorinya, dia ngomong kayak gini:
Bahasa seharusnya jadi “gambar” dari kenyataan.
Kalau kalimat itu bisa dicek kebenarannya di dunia nyata — baru deh itu bermakna.
Masalahnya, topik kayak etika, seni, Tuhan, atau makna hidup... nggak bisa dibuktikan secara logis.
Ya makanyaaa .. banyak kan, orang dibodohi oleh orang yang dianggap alim ulama, pendeta, pengusaha yang terlihat super (apalagi kalo terlihat tajir melintir) atau malah... dipengaruhi oleh para seniman digital (baca : influencer).
Jadi menurut Wittgenstein, obrolan kayak gitu sebenernya nggak punya makna dalam bahasa yang ketat.
Kesimpulannya: kadang kita bukan nggak ngerti hidup — kita cuma kejebak sama bahasa yang kita pakai buat nyoba memahaminya
Mengerikan, kan?
Kita Butuh Asumsi Biar Hidup Jalan
Kadang lucu sih — kita tahu asumsi bisa salah, tapi tanpa asumsi, obrolan nggak bakal jalan.
Bayangin kalau tiap kali ngobrol harus dicek dulu semuanya:
“Tunggu, yang kamu maksud ‘meja’ itu beneran benda berkaki empat dari kayu, kan?”
Ya keburu bubar duluan diskusinya 😅
Jadi, pas debat soal politik, agama, atau hal berat lainnya, inget aja — bisa jadi aku - kamu dan lawan bicara kita ngomongin hal yang beda definisi dari awal.
Sama-sama yakin bener, tapi fondasinya nggak sama.
Ironisnya, justru karena kita mau “sama-sama pura-pura ngerti,” hidup sosial bisa jalan. Humor, cinta, dan hubungan manusia semuanya lahir dari area abu-abu itu.
Wittgenstein ngingetin: bahasa punya batas. Kadang, diam dan saling paham tanpa kata malah lebih dalam daripada debat tanpa ujung.
(Terinspirasi dari The Fall – Albert Camus)
Bayangin lo jadi orang sukses, dihormati, dan kelihatannya baik banget. Tapi suatu hari, dua hal kecil bikin lo mulai mikir:
"Aku berbuat kebaikan itu tulus… atau cuma buat terlihat baik?
Itu yang dialami Jean-Baptiste Clamence, tokoh utama di The Fall.
Dalam novel The Fall (La Chute), Albert Camus memperkenalkan Jean-Baptiste Clamence, seorang mantan pengacara sukses yang kini menjadi "hakim-peniten" di Amsterdam.
Dulu si Clamence ini adalah pengacara top, hidupnya mulus, dihormati, happy go lucky pokoke. Tapi setelah gagal nolong seorang wanita yang mau bunuh diri, dan dia mendengar suara tawa aneh di jembatan (mentertawakan "kebaikannya" itu), dunianya jungkir balik.
Dia sadar — selama ini dia nggak benar-benar “baik.”
Dia cuma pengen dikagumi.
Dan begitu sadar, rasa bersalahnya jadi monster.
Clamence menyadari bahwa kebaikan yang ia lakukan selama ini bukanlah kebaikan sejati, melainkan hanya topeng untuk mencari validasi dan kekaguman dari orang lain. Begitu kebohongan ini terkuak, ia tak tahan hidup sebagai "hakim" (yang suka menghakimi orang lain) yang ternyata bersalah (karena kemunafikan dan keegoisan).
Trik dan plot twist-nya? Clamence akhirnya “mengaku duluan.”
Dia buka semua dosa dan kepalsuannya di depan orang lain, biar nggak ada yang bisa menjatuhkannya lagi. Tapi ironisnya, dari situ dia malah ngerasa punya hak buat menghakimi balik orang lain.
Camus mau bilang:
"Tiap kali lo nge-judge orang di medsos atau di hidup nyata, mungkin itu cuma cara lo buat menutupi rasa bersalah sendiri."
HAH.
Pertanyaannya sekarang:
Kita benar-benar berbuat baik karena hati kita tulus dan bersih…
atau cuma karena pengen "keliatan jadi si orang paling baik"?
Menciptakan Pondasi Baru
Nietzsche membongkar asal-usul nilai-nilai yang kuanut selama ini, Wittgenstein menunjukkan batasan bahasaku dan Camus memaksa aku ternggelam dan melihat motif tergelap di balik "topeng" yang aku kenakan.Moralitas bukan abadi, percakapan kita penuh asumsi, dan kepolosan terkadang hanyalah ilusi.

.jpg)
.jpg)
.jpg)
.jpg)
.jpg)

.png)

Hem... Menurutku, standar baik dan buruk itu seharusnya tetap ya. Cuma ya jangan serahin ke manusia standarnya karena pasti bisa berubah. Terus, kalau soal maksud kata dan judge emang harus hati2 karena kebenarannya relatif. Mending sering kroscek aja daripada salah paham atau malah ngejudge duluan
BalasHapusYa mbak, baik dan benar sih menurut saya based on Al Qur'an dan hadits jadinya
HapusBelum pernah baca ketiganya sih, tetapi sempat mendalami Nietzsche yang emang out of the box banget pemikirannya. Tulisannya tajam dan sering menggoyang nurani.
BalasHapusanakku sempat nih baca baca filsafat - dan aku ingetin untuk tidak terlalu 'in to' karena akan menggoyahkan pemikiran ...
HapusNgobrol langsung aja kadang bisa salah paham. Apalagi ngobrolnya cuma lewat chat alias kata-kata yang ditulis. Salah tanda baca aja, bisa salah menafsirkan.
BalasHapusMakanya kalo di medsos suka neh bila ada yang langsung hujat.
Jadinya ya jangan langsung tarik kesimpulan. Sabar aja atau ya udah gak usah diurusin hehe.
hahhahaaa curhat nieehhhh
Hapuskebetulan banget saya baca tulisan ini sesudah saya mantenginn perbincangan tentang Pak Harto menjadi pahlawan nasional
BalasHapusTerasa absurd, kalo Pak Harto jadi pahlawan, terus mahasiswa Trisakti yang gugur dianggap apa dong?
Akhirnya kita kembali pada pemikiran untuk jangan melihat suatu hal dengan kacamata hitam putih, ada banyak warna diantaranya
Dengan dasar pemikiran ini kita gak bakal "gumunan" termasuk ketika pemenang menulis ulang sejarah sesuai versinya
well.... bener ambu, kita ga boleh ekstrem memihak, karena pas di masa depan .. OMG sejarah akan berbalik dan kita kehilangan kepercayaan terhadap semuanya :(
HapusBanyak orang yang terjebak sama istilah baik dan jahat. Hal-hal sudah pasti mengundang kebaikan. Sementara hal-hal jahat ya efeknya buruk.
BalasHapusHmmm :(((
HapusMenarik juga ketiga buku tersebut jadi pengen ikutan punya bukunya spya bisa leluasa membaca
BalasHapusNggg... Bayu suka baca filsafat juga? AKu sih kurang rekomen yaaa kalo ngga suka, paling baca The Fall aja yang seperti novel itu
HapusTiga buku yang keren dan pembahasannya luar biasa. Membuka mata dan hati kita. Bahwa semuanya selama ini memang soal penilaian dari masing-masing orang. Misalnya soal baik dan jahat. Bisa saja relatif penilaiannya dari setiap orang. Begitu soal haus pengakuan. Dan ini bahaya ya, karena selalu berusaha terlihat baik di depan orang, padahal tidak selamanya sesuai dengan hati nurani.
BalasHapusKadang kalau kita ngga berpegang ke ajaran agama - akan bahaya ya mas :(
Hapus