Filosofi Air: Jangan Tegang, Rileks Saja – Seni "Flow State" Sejati


Kita hidup di dunia yang menuntut kita untuk terus "melawan". 

Melawan kemacetan, melawan tenggat waktu, melawan opini orang, bahkan melawan usia. 

Kita diajari bahwa hidup adalah perjuangan. Kita harus hustle, harus kuat, harus mengendalikan segalanya. Kita mengepalkan tangan, mengencangkan rahang, dan menahan napas, bersiap untuk benturan berikutnya.

Lalu, kita melihat air.

    Sebuah video singkat di media sosialku, ternyata bisa memicu perenungan mendalam.

Seseorang mungkin sedang bermain di sungai atau laut. Mereka mencoba berdiri tegak melawan ombak, dan mereka jatuh. Mereka mencoba berenang melawan arus, dan mereka kelelahan.

Kemudian, mereka berhenti. 

Mereka membiarkan tubuh mereka mengambang. 

Mereka rileks. 

Dan ajaibnya, air yang tadinya terasa brutal dan mengancam, kini menopang mereka. Arus yang tadinya menyeret, kini membawa mereka mengalir dengan lembut.

Di sinilah kita diingatkan pada sebuah konsep yang sering disalah pahami: flow state.

Bagi kebanyakan orang, flow state adalah kondisi "in the zone" yang dialami atlet saat mencetak rekor, atau seniman yang lupa waktu saat berkarya. Itu adalah kondisi puncak performa.

Namun, alam, melalui air, mengajarkan kita definisi flow state yang jauh lebih dalam dan relevan untuk kehidupan sehari-hari, terutama bagi kita yang telah "Fifty Up". 

Ini bukanlah tentang performa puncak, melainkan tentang keberadaan puncak.

Ini adalah "flow state" versi kearifan: sebuah kesadaran untuk berjalan mengikuti arus, karena semakin kita rileks, semakin mudah kita mengalir bersama air. 

Alam mengajarkan kita: di dalam air (kehidupan), jangan tegang. Jangan panik. 

Rileks.

Paradoks Tenggelam: Mengapa Rileks Membuat Kita Mengapung


    Pelajaran pertama dan paling vital dari air adalah tentang bertahan hidup. 

Instruktur renang mana pun akan memberi tahu Anda hal yang sama: penyebab utama orang tenggelam bukanlah air, melainkan kepanikan.

    Saat panik, otot kita menegang. Kita meronta-ronta (melawan air). Kita lupa bernapas dengan benar. Ketegangan ini membuat massa tubuh kita lebih padat, dan kita tenggelam. 

Sebaliknya, jika kita bisa memaksa diri untuk rileks, menelentangkan punggung, dan mengatur napas, tubuh kita secara alami akan mengapung. Paru-paru kita bertindak sebagai pelampung alami.

Sekarang, mari kita terapkan analogi ini ke dalam "kolam renang" kehidupan kita.

Masalah yang datang—baik itu krisis keuangan, konflik keluarga, atau masalah kesehatan—adalah airnya. Respons alami kita sering kali adalah panik. Kita "tegang".

Kita overthinking, mencoba memikirkan seribu skenario terburuk. Kita meronta-ronta, mencoba mengendalikan setiap variabel—menelepon semua orang, memaksakan solusi, bekerja membabi buta. Kita menahan napas, cemas menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya.

Hasilnya? Kita "tenggelam". Kita tenggelam dalam kecemasan, kelelahan mental (burnout), dan stres. Masalah itu terasa semakin berat dan menyesakkan, persis seperti air yang masuk ke hidung saat kita panik.

Filosofi air menawarkan alternatif: Rileks.

Rileks di sini bukan berarti pasif, apatis, atau menyerah. Rileks adalah sebuah tindakan sadar untuk melepaskan ketegangan otot dan mental. Ini adalah keputusan untuk berhenti meronta. Ini adalah trust—percaya bahwa kita bisa "mengapung" di atas masalah ini.

Saat kita rileks, kita memberi ruang pada paru-paru kita (pikiran jernih kita) untuk terisi udara. Kita mulai bisa melihat situasi dengan perspektif. Kita berhenti membuang energi untuk melawan arus yang tidak bisa kita ubah (fakta masalahnya), dan mulai menggunakan energi itu untuk "mengayuh" secara perlahan dan efektif ke tepi.

"Flow State" Bukan Melawan Arus, Tapi Menyetir di Dalam Arus

Ada perbedaan besar antara "hanyut" (pasrah buta) dan "mengalir" (flow).

Hanyut adalah melepaskan kemudi sepenuhnya. Mengalir adalah memegang kemudi dengan ringan.

Dalam "flow state" versi kearifan ini, kita menerima kenyataan arus. Kita tidak memaki-maki sungainya. Kita tidak menyalahkan arusnya. Kita menerima fakta: "Oke, arusnya deras."

Fase penerimaan ini adalah kunci untuk menghemat energi. 

Alih-alih menghabiskan 90% energi kita untuk berenang melawan arus (mengeluh, menyangkal, marah), kita menggunakan 10% energi untuk menerima, dan 90% sisanya untuk mengarahkan diri.

Bayangkan seorang peselancar. Dia tidak mencoba menghentikan ombak. Itu konyol. Dia juga tidak hanya diam pasrah digulung ombak.

Dia menunggu ombak yang tepat (kesadaran). Dia mengayuh untuk menyamakan kecepatan (persiapan). Dan saat ombak itu datang, dia berdiri dan menggunakan kekuatan ombak itu untuk melaju (tindakan). Dia tidak mengendalikan ombak; dia mengendalikan papan selancarnya di atas ombak.

Itulah "flow state" yang diajarkan air. 

Dalam hidup, kita tidak bisa mengendalikan "ombak" (perilaku orang lain, ekonomi global, berlalunya waktu). Yang bisa kita kendalikan adalah "papan selancar" kita (respons kita, sikap kita, keputusan kita).

Berhentilah tegang memikirkan cara menghentikan ombak. Mulailah rileks dan fokus pada cara menyeimbangkan papan selancar Anda.

Mengapa Kita Begitu Sulit untuk "Rileks"?

Jika rileks adalah kuncinya, mengapa kita secara refleks memilih tegang?

Jawabannya adalah :  Ego dan Ilusi Kontrol.

Selama puluhan tahun, terutama di usia produktif, kita membangun identitas kita di atas kemampuan kita untuk "mengendalikan". Kita mengendalikan karier, mengendalikan finansial, mengendalikan keluarga. Kontrol memberi kita rasa aman.

Saat kita memasuki usia 50-an ke atas, hidup sering kali memberi kita pelajaran kerendahan hati. Anak-anak tumbuh dan punya pikiran sendiri. Kesehatan mulai memberi sinyal. Pensiun mengubah rutinitas. Tiba-tiba, banyak hal yang "di luar kendali" kita.

Ilusi kontrol kita hancur. Respon pertama kita adalah panik—kita mencoba "mengencangkan" cengkeraman kita, padahal yang terjadi adalah kita semakin "tegang" dan "tenggelam".

Air mengajarkan kita bahwa kontrol sejati tidak terletak pada kemampuan untuk membendung sungai, tetapi pada kemampuan untuk beradaptasi dengan alirannya. Melepaskan kontrol yang kaku bukanlah kekalahan; itu adalah kebijaksanaan.



Cara Praktis Menemukan "Flow" Anda

Menerapkan filosofi air ini membutuhkan latihan. Ini adalah latihan beralih dari "tegang" ke "rileks" dalam situasi nyata.

  1. Sadar "Tegang": Latihan pertama adalah menyadari saat Anda tegang. Apakah bahu Anda terangkat? Apakah rahang Anda mengatup? Apakah napas Anda pendek? Saat macet, saat berdebat, saat menerima kabar buruk. Sadari saja dulu.

  2. Tarik Napas (Mengapung): Begitu sadar, lakukan tindakan fisik untuk "rileks". Tarik napas dalam-dalam, hembuskan perlahan. Lemaskan bahu Anda secara sadar. Ini adalah sinyal ke otak Anda: "Saya tidak sedang dalam bahaya. Saya hanya perlu mengapung."

  3. Identifikasi Arusnya: Tanyakan pada diri sendiri: "Dari situasi ini, apa yang tidak bisa saya ubah (arusnya)?" Mungkin itu adalah fakta bahwa hujan turun di hari piknik Anda. Mungkin itu adalah opini keras kepala rekan Anda.

  4. Temukan Kayuhan Anda: Tanyakan lagi: "Apa satu hal kecil yang bisa saya lakukan (kayuhan/kemudinya)?" Anda tidak bisa menghentikan hujan, tapi Anda bisa memutuskan untuk piknik di dalam mobil dengan musik. Anda tidak bisa mengubah rekan Anda, tapi Anda bisa mengubah cara Anda meresponsnya.

Flow state sejati adalah menemukan kedamaian di tengah ketidakpastian. Itu adalah kearifan untuk tahu kapan harus memegang erat dan kapan harus melepaskan. Air tidak pernah melawan rintangan; ia melewatinya, mengelilinginya, atau mengikisnya perlahan.

Hidup tidak meminta kita untuk menjadi batu karang yang kaku, yang akhirnya akan retak oleh terpaan ombak. Hidup meminta kita untuk menjadi air—fleksibel, adaptif, kuat dalam kelembutannya, dan selalu menemukan jalan untuk mengalir.

Jangan tegang. Rileks saja. Anda akan mengapung.

Komentar

Postingan Populer